Pages

Riba menurut syara


Ø  Riba Menurut Syara’
Ketika Islam datang, menurut orang Arab indikator makna riba adalah berdasarkan pada tradisi mereka yaitu “ tambahan utang uang sebab ada tenggang waktu”. Definisi ini disebut riba utang. Dalam autobiografi Ibnu Hisyam menceritakan kisah dari salah satu orang Arab jahiliyah, yaitu Aid bin Imran, ketika ada renovasi bangunan Ka’bah “wahai penduduk Quraisy janganlah kalian memasuki bangunan ini kecuali pakaian kalian suci. Janganlah kalian memasukan mahar tipuan. Jangan pula kalian bertansaksi jual-beli dengan riba, dan jangan ada seorang pun yang menzalimi orang lain.
Selanjutnya, riba diharamkan oleh Islam dalam Al-Qur’an dengan menggunakan kata “riba”. Tidak ada makna dari kata ini selain yang telah didifinisikan oleh orang Arab di zaman jahiliyah. Kemudian assunnah memperluas penjabaran tentang riba. Selanjutnya, muncullah pengertian riba yang beraneka ragam yang belum pernah dikenal oleh orang Arab pada masa itu. Jashshash berkata, “Riba menurut syara’ memiliki banyak pengertian yang belum terdefinisikan secara khusus dalam istilah bahasa Arab”.
Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa orang-orang Arab belum mengetahui bahwa menjual emas dengan emas, perak dengan perak merupakan bagian dari riba. Ini adalah salah satu jenis riba menurut istilah syara’.
  1. Pembagian Riba
Setelah mengetahui beberapa pendapat dari Al-Qur’an serta pendapat mereka terhadap riba, maka  perlu pula mengetahui apa sebenarnya riba itu.
1)      Riba al-Nasi’ah
Riba Nasi’ah yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko (al-ghunnu bil ghurni) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi sejenis ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu. Nasiah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya.
             Riba Nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al-ghunnu (untung) muncul tanpa adanya risiko (al-ghurmi), hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al-ghunnu dan al-kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi.
            Memastikan sesuatu yang di luar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman, sebagaimana firman Allah  dalam surah Al-Hasyr (59) ayat 18:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hasyr (59):18)
2)      Riba al-Fadhl
            Diidentifikasi dan disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits. Bagaimanapun juga, akan terkait di dalamnya apa yang dikenal dengan riba al fadhl, dimana riba al-fadhl merupakan bentuk kedua dari riba yang telah digunakan dan selalu terjadi dalam transaksi antara pembeli dengan penjual. Pembahasan mengenai riba al-fadhl telah dimulai sejak Hadits Nabi menyatakan dengan Haditsnya bahwa emas, perak, gandum, dan garam dapat ditukar baik dengan barang itu sendiri maupun dengan barang yang lain dengan jumlah yang sesuai.
  Dari barang-barang yang disebutkan dalam Hadits yang berhubungan dengan riba al-fadhl, dua di antaranya mewakili nilai uang pada waktu itu dan sementara sisanya menggambarkan kebutuhan terhadap pangan.
Sebagai karkateristik dasar atau emas dan perak yang diperlakukan sebagai uang, telah disimpulkan komoditi tersebut, sedangkan yang lain merupakan hal yang berbeda. Hukum riba fadhl berdasarkan pada banyak Hadits, salah satunya :
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, Tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberii tambahan atau memninta tambahan, sesungguhnya dia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (HR. Muslim)

Hadits seperti tersebut di atas menunjukkan larangan memperjual belikan enam bahan tersebut dalam dua bentuk:
ü  Pertama, menjual sesuatu dengan jenisnya (barang riba) dengan pelebihan di antara keduanya, yaitu salah satu dari pada kedua imbalannya lebih banyak daripada yang lain. Ini adalah riba fadhl, yaitu riba penukaran lebih, karena di dalamnya terdapat kelebihan bagi salah satu dari kedua imbalannya dari yang lain dengan kesamaan dalam jenis dan manfaatnya (barang ribawi).
ü  Kedua, dalam penjualan (barang ribawi) tidak terjadi saling terima di tempat penjualan. Yang demikian ini disebut riba nasa’ (penundaan). Riba ini bukanlah riba Nasi’ah. Karena si pembeli dan penjual tidak melakukan akad jual beli pada saat itu.
Terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait dua riba ini. Ada yang menganggap tidak ada riba kecuali riba nasi’ah sedangkan yang lain menganggap dua hal tersebut termasuk riba karena diterangkan oleh Hadits-hadits. Ibnu Abbas r.a. termasuk orang yang berpendapat bahwa tidak ada riba kecuali riba nasi’ah.
Hal ini menyimpulkan bahwa barang ribawi ada enam perkara yaitu emas, perak, jagung, gandum, kurma dan garam. Apabila  hendak membuat pertukaran dengan barang sejenis sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an  di atas.  hendaklah menukarnya dalam jumlah yang sama, seperti contoh satu gram emas hendaklah ditukarkan dengan satu gram emas juga. Di samping itu,  hendaklah melakukan transaksi ‘kontan dengan kontan’ supaya tidak terjadi tenggang waktu dalam jual beli barang dengan barang sejenis, walaupun tidak memakai tambahan karena apabila berlaku tenggang waktu ini, yaitu salah satu di antara dua pihak yang melakukan transaksi meninggalkan tempat transaksi sebelum serah terima, imam syafi’i menamakannya dengan riba yad dan mayoritas ulama menganggap riba ini termasuk kategori riba fadhl. Nabi Muhammad saw telah memberikan  solusi dalam membuat pertukaran dengan barang yang sejenis tetapi berbeda kualitasnya dengan menjual dahulu barang  miliki tersebut kemudian barulah  membeli barang yang sejenis tetapi berbeda kualitas itu dengan uang hasil penjualan barang sejenis yang  miliki.

0 comments:

Post a Comment

Komen yang tidak sesuai akan dihapus

Recent post

Share