Pages

Penafsiran Ibnu Katsir pada surat Ali Imran


A.    Penafsiran Ayat-Ayat Riba dalam tafsir Ibn Katsir
                  Penafsiran pada Q.S. Ali Imran/3:130
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿy軟ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ   (#qà)¨?$#ur u$¨Z9$# ûÓÉL©9$# ôN£Ïãé& tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 ÇÊÌÊÈ   (#qãèÏÛr&ur ©!$# tAqߧ9$#ur öNà6¯=yès9 šcqßJymöè? ÇÊÌËÈ  

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.

Melalui firmannya di atas, Allah melarang hamba-hambannya yang beriman melakukan riba dan memakanya dengan berlipat ganda. Sebagaimana pada masa jahiliyyah dulu mereka mengatakan: “jika hutang sudah jatuh tempo, maka ada dua kemungkinan, dibayar atau dibungakan. Jika dibayar, maka selesai sudah urusan. Dan jika tidak dibayar, maka ditetapkan tambahan untuk jangka waktu tertentu dan kemudian ditambahkan pada pinjaman pokok.” Demikian seterusnya pada setiap tahunya. Mungkin jumlah sedikit bisa berlipatganda menjadi banyak.
Ayat ini diturunkan pada kira-kira tahun kedua atau ketiga hijriah. Pada tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda dan mengandung larangan tegas yang mengharamkan salah satu jenis riba (riba nasi’ah). Berarti laranganya masih bersifat sebagian, belum menyeluruh. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut.
            Ayat di atas telah mengharamkan segala macam jenis riba (terutama riba fadhl) secara qath’i ‘pasti’ berdasarkan nash di atas Ibnu Katsir mengutuk segala macam jenis riba berapa pun besar bunganya. Dalam penafsiranya pada ayat ini, beliau lebih memfokuskan pembahasaanya pada persoalan ‘adh’afan mudha’afah’ yaitu ‘berlipat ganda’, karena beliau mengatakan bahwa ada suatu kaum yang hendak bersembunyi di belakang nash ini dan berputar-putar padanya dengan mengatakan bahwa riba yang diharamkan itu ialah riba yang berlipat ganda. Sedangkan, bunga sebesar empat persen, lima persen, tujuh persen, tidak termasuk berlipat ganda dan tidak termasuk kedalam bingkai pengharaman.

Sistem riba ‘adh’afan mudha’afah’ yaitu ‘berlipat ganda’ berarti memutar uang menurut kaidah ini. Artinya praktik riba itu bukanlah tindakan yang satu kali saja dan sepele, tetapi ia merupakan tindakan yang berulang-ulang dilihat dari satu segi, dan bertumpuk-tumpuk dilihat dari segi lain. Ia akan terjadi seiring dengan perputaran waktu secara berulang-ulang dan mengalami pertambahan yang berlipat ganda, tanpa dapat dibantah lagi.
            Sistem riba akan senantiasa terwujud dengan wataknya. Jadi, ia tidak terbatas pada praktik yang berlaku di Jazirah Arab saja, tetapi ia merupakan sifat yang lazim bagi sistem ini pada setiap waktu. Sistem ini merusak kehidupan spiritual dan moral manusia, seperti yang sudah kami jelaskan secara rinci pada juz ketiga, sebagaimana ia juga merusak kehidupan ekonomi dan politik. Dari semua itu tampaklah hubunganya dengan kehidupan seluruh umat dan akan menimbulkan akibat buruk bagi mereka. Islam yang membangun kaum muslimin ini ingin membersihkan kehidupan spiritual dan moral mereka, sebagaimana ia menginginkan kesejahteraan kehidupan ekonomi dan politik. Dampak semua ini terhadap hasil peperangan yang dilakukan umat itu sudah popular. Oleh karena itu, dilarangnya melakukan sistem riba dalam konteks perang merupakan suatu hal yang dapat dimengerti dalam manhaj yang lengkap dan jeli ini.
            Adapun diakhirinya larangan ini dengan perintah bertakwa kepada Allah karena mengharapkan kebahagiaan dan keberuntungan, serta dengan menjaga diri dari neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir dan diakhirinya masalah ini dengan kedua sentuhan di atas (takwa dan menjaga diri dari neraka) dalam konteks ini juga dapat dimengerti. Hal ini merupakan kata penutup yang sangat tepat. Karena, orang yang bertakwa kepada Allah tidak akan memakan riba karena takut siksa neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir. Orang yang beriman kepada Allah tidak ada yang memakan riba dan mereka membersihkan dirinya dari sifat-sifat orang kafir. Adalah suatu hal yang mustahil, iman dan sistem riba berkumpul di suatu tempat. Kalau di sana berlaku sitem riba, maka para pelaku sistem riba itu sudah keluar dari agama islam secara total, dan di sana terdapat neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir. Membantah hal ini hanyalah sekedar membantah saja.
            Dihimpunnya dalam ayat-ayat ini larangan memakan riba dengan seruan untuk bertakwa kepada Allah dan menjaga diri dari siksa neraka, bukanlah suatu hal yang main-main dan Cuma kebetulan. Tetapi, hal itu adalah untuk menetapkan hakikat ini dan untuk memperdalam persepsi kaum muslimin terhadapnya. 
            Menurut Ibnu Katsir bahwa sistem ini merusak kehidupan spiritual dan moral manusia, sebagaimana ia merusak kehidupan ekonomi dan politik. Islam melarang riba dalam semua aspek dan ayat larangan ini diakhiri dengan perintah bertaqwa kepada Allah karena mengharapkan kebahagian dan keberuntungan, serta dengan menjaga diri dari neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir. Demikian pula dengan pengharapan untuk mendapatkan keberuntungan dan kebahagian dengan meninggalkan riba dan bertaqwa kepada Allah. Maka, kebahagiaan itu secara otomatis adalah buah dari bertaqwa dan pelaksanaan manhaj Allah dalam kehidupan manusia.
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman melakukan praktik riba dan memakannya dengan berlipat ganda, sebagaimana yang mereka lakukan pada masa jahiliyah. Mereka berkata, “ jika utang sudah jatuh tempo, maka ada dua kemungkinan dibayar atau dibungakan. Jika dibayar maka selesai urusannya. Jika tidak dibayar, maka dikenakan bunga yang kemudian ditambahkan kepada pinjaman pokok.” Demikianlah yang mereka lakukan sepanjang tahun. Maka pinjaman yang sedikit dapat bertambah besar berlipat-lipat. Allah menyuruh hamba-Nya bertakwa kepada-Nya supaya mereka beroleh keberuntungan, baik di dunia maupun di akhirat.
            Kemudian Allah mengancam mereka dengan neraka dan menakut-nakuti denganya. Allah Ta’ala berfirman, ”Jagalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya agar kami diberi rahmat.” Kemudian Allah menganjurkan kepada mereka bergegas dalam melakukan kebaikan dan bersegera dalam meraih kedekatan dengan Allah. Alllah Ta’ala berfirman, “Dan bergegaslah kamu menuju ampunan dari tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,”maksudnya, sebagaimana neraka disediakan bagi orang-orang kafir. Ada pendapat yang mengatakan bahwa maksud firman Allah Ta’ala, “seluas langit dan bumi” merupakan pemberitahuan betapa luasnya surga itu, sebagaimana Allah berfirman ketika menerangkan sifat surga, “bagian dalamnya dari sutra.” Ada pula pendapat yang mengatakan lebarnya surga seperti panjangnya, karena ia berbentuk kubah dan berada di bawah Arsy. Maka lebar sesuatu yang berbentuk kubah dan bulat sama dengan panjangnya. Hal itu ditunjukkan pula dalam keterangan yang terdapat dalam sahihain, “apabila kamu memohon surga kepada Allah, maka pintalah surga firdaus, karena ia merupakan surga yang paling tinggi dan paling luas. Dari firdauslah memancar aneka surga. Atap firdaus adalah Arsy Ar-Rahman.

0 comments:

Post a Comment

Komen yang tidak sesuai akan dihapus

Recent post

Share