Bentuk-bentuk
Penafsiran
Yang
dimaksud dengan bentuk penafsiran disini ialah naw’u (macam atau jenis)
penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk
penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama yaitu al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (pemikiran).
a.
Bentuk Riwayat (al-ma’tsur)
Penafsiran
yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi
al-ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir
dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan
dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn
Katsir, dan lain-lain.
Dalam
tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam
pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad saw diyakini sebagai penafsir
pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode tafsir
riwayat”. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an
klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan data
riwayat dari Nabi saw dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses
penafsiran Al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Para
ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat.
Al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang
diberikan oleh ayat Al-Qur’an. Sunnah Nabi, dan para sahabat. Ulama lain, seperti Al-Dzahabi, memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir
riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung ari Nabi
Muhammad saw Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai
tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti
Tafsir Al-Thabari.
Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya
tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan
atau perkataan sahabat. Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material
tafsir dan bukan pada metodenya. Ulama Syi’ah berpandangan bahwa tafsir riwayat
adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang
dikutib dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak dianggap sebagai
hujjah.
b. Bentuk Pemikiran (al-ra’yi)
Setelah
berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan
berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat.
Masing-masing golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan
paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka
anut. Ketika inilah berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’yi (tafsir melalui
pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang pesatnya tafsir bi al-ra’yi, maka
tepat apa yang dikatakan Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’yi
mengalahkan perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.
Meskipun
tafsir bi al-ra’yi berkembang dengan
pesat, namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang
membolehkan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua
pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya
kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’yi (pemikiran)
semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku.
Sebaliknya,
keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul serta
kaedah-kaedah yang mu’tabarah (diakui sah secara bersama).
Dengan
demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai
sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur
(melalui riwayat) dan bi al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).
Metodologi Penafsiran
Yang
dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara
yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode
tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang
digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara
teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan
problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang
mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu
muncul.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir
Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis
besarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara (metode),
sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu
: ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy
(tematik).
Dalam Tafsir Ibn Katsir aspek arti
kosakata dan penjelasan arti global, tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek
tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu. Atau, kadang pada suatu ayat, suatu
lafazh dijelaskan arti kosakatanya, sedang lafazh yang lain dijelaskan arti
globalnya karena mengandung suatu term (istilah),
bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu pada ayat-ayat lain. Misalnya,
sewaktu menafsirkan “hudal lilmuttaqien”
dalam surat al-Baqarah ayat 2. Menurut Ibn Katsir, bahwa huda (disini) adalah sifat diri al-Quran itu sendiri, yang
dikhususkan bagi muttaqin dan mu’minin yang berbuat baik. Disampaikan pula
beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasanya tersebut, yaitu :
a. Fushshilat:
44
b. Al-Isra
: 82
c. Yunus:
57
Aspek
asbab an-nuzul, Ibn Katsir tergolong
ulama yang tidak intensif menyampaikanya pada ayat-ayat atau surat-surat yang
oleh beberapa mufassir lain disampaikan.
Terhadap dua riwayat asbab
an-nuzul atas satu ayat yang sama Ibn Katsir menyatakan bahwa kedua-duanya
sama-sama menjelaskan asbab an-nuzul,
tapi berhubung jarak waktu terjadinya jauh, maka bentuk komprominya adalah ayat
itu diturunkan dua kali.
G.
Katagori
Tafsir Ibn Katsir
Tafsir Ibn
Katsir disepakati oleh para ahli termasuk dalam katagori tafsir al-ma’tsur. Katagori ma’tsur, yaitu penafsiran ayat dengan
ayat, penafsiran ayat dengan Hadits Nabi SAW, yang menjelaskan makna sebagian
ayat yang dirasa sulit atau penafsiran
dengan hasil ijtihad para sahabat
atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad
para tabi’un.
Para
ahli yang menetapkan bentuk ma’tsur,
antara lain manna Khalil al-Qaththan, za-Zarqani, adz-Dzahabi, al-Fatmawati, Hasbi
ash-Shiddieqy, dan Shubhi ash-Shalih.
Penetapan
ini karena yang mendominasi dalam Tafsir
Ibn Katsir adalah penafsiran dengan unsur-unsur atsar, sebagaimana definisi di atas. Penetapan dari penilain para
ulama ini, menjadikan sebutan corak (ma’tsur)
bagi tafsir tersebut. Adapun unsur atsar yang
mendominasi sumber tafsir ini, yaitu :
1. Penafsiran
Al-Quran dengan Al-Quran
2. Sunnah
(Hadits)
3. Pendapat
sahabat
4. Pendapat
tabi’un
0 comments:
Post a Comment
Komen yang tidak sesuai akan dihapus